PWI Bangkit dari Perpecahan: Islah Zulmansyah-Hendry Jadi Titik Balik Sejarah Baru -->

PWI Bangkit dari Perpecahan: Islah Zulmansyah-Hendry Jadi Titik Balik Sejarah Baru

Kamis, 22 Mei 2025, 11:56 PM
PWI Bangkit dari Perpecahan: Islah Zulmansyah-Hendry Jadi Titik Balik Sejarah Baru


Oleh: Ketua PWI Bekasi Raya Ade Muksin, SH.


PATROLI BINS, KOTA BEKASI – Sebuah babak penting dalam sejarah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) akhirnya terbuka. Setelah bertahun-tahun tersandera oleh perpecahan internal, dua tokoh sentral yang selama ini berada di poros berbeda, Zulmansyah Sakedang dan Hendry Ch Bangun, memilih jalan damai.


Dalam pertemuan bersejarah yang digelar di Jakarta pada 16 Mei 2025, keduanya sepakat mengakhiri dualisme dan menetapkan Kongres PWI paling lambat 30 Agustus 2025 sebagai forum demokratis untuk menentukan kepemimpinan sah PWI ke depan.


Kesepakatan ini sontak disambut dengan rasa syukur dan haru oleh berbagai elemen PWI dari Sabang hingga Merauke. Dari ruang redaksi hingga kantor PWI daerah, harapan baru mengalir deras—bahwa PWI akan kembali menjadi organisasi yang bersatu, bermartabat, dan profesional.


“Ini adalah kemenangan nurani, bukan sekadar kompromi politik. Kami menyambutnya dengan penuh optimisme. Islah ini adalah momentum emas yang telah lama kami nanti,” ujar Ade Muksin, Ketua PWI Bekasi Raya, Kamis (22/05/2025).


*Kongres Bukan Sekadar Agenda, Tapi Komitmen Moral*


Bagi pengurus daerah, kongres mendatang bukanlah formalitas. Ia menjadi panggung pertanggungjawaban sejarah. Kongres akan menjadi cermin kesungguhan semua pihak dalam membangun kembali PWI sebagai benteng independensi dan etika jurnalistik Indonesia.


“Kongres ini harus sah, jujur, dan mencerminkan kehendak murni anggota. Hanya pengurus hasil konferensi yang sah yang layak memberi suara, bukan Plt hasil penunjukan darurat,” tegas Hilman Hidayat, Ketua PWI Jawa Barat.


Ia juga mengingatkan bahwa konflik internal selama ini tak hanya melukai organisasi, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap pers sebagai institusi sosial.


“PWI harus kembali jadi rumah bersama. Tak boleh ada lagi sekat-sekat, ego sektoral, atau kooptasi kekuasaan. Ini panggilan sejarah,” lanjutnya.


*Kesepakatan Jakarta: Cahaya di Tengah Fragmentasi*


Momentum damai yang kini dikenal sebagai “Kesepakatan Jakarta” tidak lahir tiba-tiba. Ia adalah hasil dari proses panjang—dari saling memahami hingga keberanian menundukkan ego demi kepentingan bersama.


Di era ketika media menghadapi tekanan berat—mulai dari disrupsi teknologi hingga krisis kepercayaan—PWI dituntut tidak sekadar hadir, tapi memimpin arah perubahan.


“Islah ini adalah refleksi spiritual organisasi. Kita tidak bisa terus menyandera masa depan pers Indonesia karena perbedaan masa lalu. Saatnya kembali ke semangat awal: membina jurnalis yang tangguh dan berintegritas,” ujar Dr. Arya Prasetya, pengamat media sekaligus mantan pengurus pusat PWI.


*PWI Masa Depan: Menyatukan, Menguatkan, Mencerahkan*


PWI Bekasi Raya menyatakan siap mendukung penuh pelaksanaan kongres serta memastikan transisi organisasi berjalan damai, demokratis, dan transparan.


“Kami ingin PWI tak sekadar besar secara nama, tetapi juga besar pengaruhnya dalam membentuk ekosistem media yang sehat dan bertanggung jawab. Ini tanggung jawab moral kita sebagai wartawan,” pungkas Ade Muksin.


Kini, perhatian tertuju pada Kongres PWI yang akan datang. Apakah ini benar-benar menjadi awal baru atau hanya jeda dari konflik lama? Jawabannya bergantung pada komitmen dan integritas seluruh anggota.


Namun satu hal sudah pasti: organisasi yang pernah terpecah kini punya peluang langka untuk lahir kembali—lebih kuat, lebih bijak, dan lebih relevan.


Redaksi akan terus memantau perkembangan menuju Kongres PWI 2025, demi memastikan organisasi wartawan tertua di Indonesia ini kembali pada khitahnya sebagai pelindung kebebasan pers dan penjaga etika profesi. (*)

TerPopuler